Umat Islam di Persimpangan Kebudayaan
Jika kita mencari gambar di google dengan kata kunci ‘Indonesia’, maka kemungkinan yang muncul adalah candi. Candi bisa jadi dianggap sebagai representasi (visual) tentang Indonesia yang mayoritas masyarakatnya Muslim. Tak ada gambar Masjid di sana. Tak seperti Candi Borobudur. Masjid meski telah hadir berabad-abad, nampaknya belum dianggap sebagian kalangan menjadi representasi Indonesia.
KIBLAT.NET – Tak dapat dipungkiri, budaya adalah identitas suatu bangsa. Itu sebabnya, Kongres Kebudayaan yang akan digelar 5-9 Desember 2018 oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memakai motto “Berkepribadian dalam Kebudayaan.” Kongres ini bertujuan untuk menentukan strategi kebudayaan Indonesia yang nantinya akan terimplementasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) atau Jangka Panjang (RPJP).
Kongres Kebudayaan ini jelas bukan untuk pertama kalinya. Setidaknya sejak 1918 telah digelar sejumlah Kongres Kebudayaan. Adu pikiran, gagasan akan makna dan strategi kebudayaan akan menentukan identitas yang merepresentasikan Indonesia. Identitas inilah yang bukan saja ditampilkan keluar sebagai satu citra Indonesia, tetapi juga menjadi landasan misalnya dalam menentukan jiwa dan corak dari pendidikan di Indonesia.
Pergulatan gagasan dan pemikiran kebudayaan telah menjadi perdebatan sejak Indonesia belum merdeka. Kongres kebudayaan pertama terjadi di tahun 1918. Kongres tersebut awalnya bernama Kongres Kebudayaan Jawa, membicarakan persoalan kebudayaan Jawa. Kongres ini digagas Pangeran Prangwadono (Mangkunegoro VII). (Nunus Supardi: 2013)
Awalnya kongres ini diusulkan oleh Dirk van Hinloopen Labberton, seorang tokoh teosofi yang mengusulkan agar diadakan Kongres Bahasa Jawa. Mangkunegoro VII kemudian menyetujui bukan kongres bahasa Jawa, melainkan lebih luas, yaitu membahas kebudayaan Jawa. Salah satu pemakalahnya, Dr. Satiman Wirjosandjojo, saudara kandung dari tokoh Masyumi, Dr. Soekiman Wirjosandjojo, menyatakan bahwa,
“Pertemuan peradaban Barat dan Timur harus saling membagi keduanya. Perjuangan hanya dapat dicapai melalui “peperangan” antara kemampuan intelektual, dan oleh karena itu kemampuan intelektual kita harus dibuat sama dengan intelektual Eropa”. (Nunus Supardi: 2013)
Tahun-tahun berikutnya Kongres diperluas cakupannya hingga terus terjadi di tahun 1919, 1924, 1926, 1937, 1947, 1948 , 1957 dan 1960, dan seterusnya. Terlepas ada perbedaan mengenai penetapan kongres yang diakui, namun yang tak terhindarkan adalah perdebatan tentang arah kebudayaan itu sendiri. (Nunus Supardi: 2013)
Polemik kebudayaan yang terjadi sejak era 1930-an, ketika Sutan Takdir Alisjahbana lewat Majalah Poedjangga Baroe amat menekankan pentingnya berkiblat pada kebudayaan Barat. Ia menyebut bahwa, “ Masjarakat dan kebudajaan bangsa kita harus tumbuh mengarah ke Barat…” (Denys Lombard: 2005)
Pandangan yang berkiblat ke Barat ini dibantah oleh para budayawan yang pro-Timur dan sangat terpesona dengan kebudayaan Jawa, seperti Sanusi Pane. Ada pula Muhammad Yamin yang menjadi penggerak identitas Indonesia yang amat berkiblat pada Kebudayaan Hindu terutama Majapahit. Ia menerbitkan Buku Enam Ribu Tahun Bendera Merah Putih, yang mencoba (memaksakan) bahwa bendera Merah Putih telah berkibar sejak abad ke-13. (Denys Lombard: 2005)
Muhammad Yamin pula yang mencetuskan slogan “Bhineka Tunggal Ika”, yang (kini) lebih dikenal sebagai persatuan dalam keanekaan. Padahal Yamin, menurut Sejarawan Denys Lombard, mengambil kalimat tersebut dari kitab Sutasoma, yang artinya lebih bermakna kemiripan dua agama utama, yaitu Sivaisme dan Buddhisme yang kendati tampak berbeda, memungkinkan pengikutnya untuk mengikuti jalan yang sama. (Denys Lombard; 2005)
Satu haluan indianisasi dalam pencitraan Indonesia ini bukan kebetulan semata. Andrik Purwasito dalam disertasinya di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Perancis, menyebutnya Imajeri India. Satu representasi India yang tercitra dalam kaum nasionalis Indonesia. (Andrik Purwasito: 2002)
Representasi India pertama tercermin dalam taktik pergerakan nasionalisme seperti: “Non Koperasi”, “Satyagraha”, “Ahimsa”, “Pancasila”, “Nationalism is Humanity,” yang semuanya terinspirasi dari India Kontemporer. Kedua, tercermin dari istilah dan nama seperti “Dasamuka”, “Arjuna”, “Rahwana” dan lainnya yang bersumber dari India klasik, yaitu representasi India yang hidup dalam kemegahan masa lalu Indonesia, mulai dari Tarumanegara, Sriwijaya sampai Majapahit.
Imajeri India sendiri dapat dimaknai sebagai “Serangkaian gambar-gambar, yaitu gagasan produk kaum nasionalis berupa: gagasan tentang resistensial, gagasan tentang Pendidikan nasional, gagasan tentang politik regional, dalam pembangunan identitas bangsa, gagasan tentang mendirikan negara kebangsaan, yang di dalamnya terdapat representasi India.”
Setidaknya kita dapat memahami Imajeri India dalam identitas Indonesia itu bukan datang dari ruang hampa. Pemahaman dan pemaknaan tentang kebudayaan membuka jalan untuk menentukan identitas Indonesia.
Hal ini pula yang sebenarnya coba ditekankan oleh Buya Hamka ketika ia mengungkapkan pandangannya tentang kebudayaan dalam Kongres Kebudayaan tahun 1960.
Kongres Kebudayaan yang dihelat di Bandung pada tahun 1960 dihadiri budayawan seperti Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Sitor Situmorang, dan para budayawan Lekra seperti Joebaar Ajoeb, Rivai Apin, dan termasuk ulama besar sekaligus budayawan Buya Hamka.
Kehadiran Buya Hamka menjadi satu penanda bagi kita bahwa saat itu, umat Islam dipandang satu bagian penting yang mewakili corak kebudayaan. Setidaknya pandangan umat Islam (yang diwakili Buya Hamka) dipandang perlu diperhatikan dalam menentukan satu arah kebudayaan Indonesia.
Persoalannya bagaimana dengan saat ini? Masihkah pandangan umat Islam akan kebudayaan (masih) dianggap penting? Perlu didengar suaranya? Ataukah sudah tak dipandang perlu lagi? Atau yang lebih ironis lagi, masihkah umat Islam merasa perlu untuk menghargai soal kebudayaan?
Tak dapat dipungkiri, kini energi dan perhatian umat, termasuk para ulamanya, begitu habis dicurahkan pada persoalan politik, terutama politik elektoral. Segala pembicaraan, strategi, dan perhatian begitu tumpah ruah dalam soal politik. Menyisakan hampa ruang-ruang kebudayaan dari kehadiran umat termasuk para ulamanya.
Kita tak lagi merasakan akan kehadiran seorang ulama besar yang begitu peduli dan terjun menjadi budayawan seperti Buya Hamka. Yang berceramah dan menulis sastra sama lincahnya. Yang mampu berdakwah dengan merangkai kata-kata yang bermutu tinggi. Bernilai sastra.
Jika pada masa lalu umat Islam sanggup mewarnai corak kebudayaan lewat karya-karya sastra bernilai tinggi. Kini sastra selangkangan yang mendominasinya. Sastra yang jauh dari nilai agama dan sarat dengan pandangan sekularistik. Karya umat kini tak mampu lagi berkiprah dalam pusaran kebudayaan. Hanya berenang-renang di tepian.
Energi kita telah habis terkuras pada pusaran politik (elektoral) yang tak ada habisnya. Menyita segala potensi umat yang harusnya menjadi insan berbudaya. Tak heran jika bahasa umat sekarang terasa kering. Tak banyak ulama yang pandai merangkai kata bernilai sastra dengan landasan tauhid.
Generasi muda beralih pada produk-produk budaya tak bertauhid. Menyapa ramah budaya, terutama budaya pop hedonisme yang senafas dengan sekularisme dan liberalisme. Corong-corong budaya mereka dominasi. Bukan karena teori konspirasi, tetapi karena keabaian kita sendiri yang tak sudi menolehnya.
Umat Islam memang sempat terbangun dari tidurnya ketika terjadi konfrontasi budaya terutama sejak era 1957-1965, ketika Lekra, organisasi kebudayaan di bawah naungan PKI, maju dengan jargonnya, politik sebagai panglima.
Lesbumi, Lembaga seni budaya di bawah Nadhlatul Ulama maju menghalau pengaruh Lekra. Usmar Ismail, Asrul Sani dan Djamaluddin Malik adalah tokoh-tokoh Lesbumi yang maju berkarya lewat film. Usmar Ismail misalnya menciptakan film yang berjudul “Tauhid.”
Di lini lain, tokoh pers NU, Mahbub Djunaedi membuat Mars GP Ansor. Mars ini seringkali dipakai untuk mengimbangi lagu Genjer-genjer yang identik dengan PKI. Di bidang seni lukis Zawawi Imron menjadi penggeraknya. Ada pula Reog Ponorogo binaan Lesbumi, atau seni hadrah binaan Lesbumi. (Moh. Ali Anwar : 2013)
Para tokoh dari kelompok berlatar pembaharuan Islam juga turut berkarya lewat budaya, Mereka membentuk Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI). Di bidang seni drama mereka membuat pagelaran kolosal. Bertempat di Jakarta, pertunjukan drama Titik Terang menandai perayaan Maulid Nabi Muhamamad SAW pada tahun 1961. Drama tersebut ditampilkan secara kolosal melibatkan 15 ekor kuda dan dihadiri 30 ribu penonton. Yunan Helmy Nasution, yang juga menjadi Ketua HSBI menjadi penulis naskahnya. (Harius Salim: 2012, Indonesia O’Galelano: 1963)
Tokoh HSBI, Yunan Helmi Nasution terlibat dalam penciptaan syair-syair dan naskah drama. Pada tahun baru 1383H (24 Mei 1963) misalnya, diadakan Pesta Penjair Islam yang diikuti oleh 30 peserta dan dikunjungi banyak penonton. Acara yang sudah diadakan keempat kalinya tersebut diikuti pemuda-pemudi dari berbagai organisasi kepemudaan Islam seperti PMII, HMI, GPII, PNU, PII, Pemuda Anshor, Pemuda Muhammadiyah, dan lainnya.
Pada Desember 1961, HSBI melalui Majelis Seniman Budajawan Islam (MASBI) yang diketuai Buya Hamka mengadakan musyawarah kebudayaan. Musyawarah itu kemudian memutuskan beberapa hal, diantaranya, seni adalah aktivitas yang halal dalam pandangan hukum Islam dan dalam melakukan aktivitasnya dibutuhkan untuk menghindari hal-hal yang haram.
Menurut Sidi Gazalba, hasil dari musyawarah itu sendiri memberi arti penting, yaitu;
“Dengan bersenjatakan fatwa ulamak-ulamak itu terbukalah bagi HSBI kegiatan-kegiatan, baik menyaingi LEKRA, membentengi pemuda-pemuda Islam supaya jangan sampai menjadi mangsa LEKRA, menyediakan kesempatan bagi kaum muda untuk memuaskan rasa-seninya. Ketika itu ada empat parti Islam. Masing-masing parti tidak ragu lagi menubuhkan lembaga keseniannya sendiri. (Choirotun Chisaan: 2012)
The post Umat Islam di Persimpangan Kebudayaan appeared first on Kiblat.
Post Comment
Tidak ada komentar