Post Terbaru

Hadis Dla’if Karena Terdapat Cacat pada ‘Adalah Rawi



Telah kita bahas di muka bahwa di antara syarat diterimanya suatu hadis adalah para rawi memiliki sifat ‘adalah dan dlabth. Dan juga telah kita bicarakan bahwa ‘adalah yaitu sifat yang membawa seseorang untuk memegang teguh taqwa dan kehormatan diri, serta menjauhi perbuatan buruk, seperti syirik, fasik dan bid’ah. Cacat pada keadilan disebabkan oleh empat hal, yaitu
  1. a. Dusta
  2. b. Tertuduh berdusta
  3. c. Tidak dikenal (Jahalah)
  4. d. Bid’ah
Pada bab ini, Insya Allah, akan kita bahas macam-macam hadis yang tertolak karena cacat pada keadilan (‘adalah) para rawinya –atau sebagian di antara para rawinya.


1. Maudlu’

Definisi

مَا كَانَ رُوَاتُهُ كَذَّابًا أَوْ مَتَنَهُ مُخَالَفًا لِلْقَوَاعِدِ

Apabila rawinya pendusta atau matannya menyelisihi qaidah [agama].


Penjelasan Definisi;

Rawinya pendusta, maksudnya salah satu rawinya, atau sebagian di antara rawinya dianggap dusta dalam meriwayatkan hadis.

Menyelisihi qaidah maksudnya qaidah syara’ yang telah ditetapkan di dalam kitabullah dan sunnah yang sahih.

Misalnya; hadis yang dikeluarkan oleh al-Khathib al-Baghdadi di dalam Tarikh al-Baghdad, (5/297) dari jalan


مُحَمَّدٌ بْنُ سَلْمَانَ بْنِ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا وَكِيْعٌ، عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أَسْرَى بِي إِلَى السَّمَاءِ: فَصُرْتُ إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ سَقَطَ فِي حُجْرِي تُفَّاحَةٌ، فَأَخَذْتُهَا بِيَدِيْ، فَانْفَلَقَتْ فَخَرَجَ مِنْهَا حَوْرَاءَ تَقَهْقَهَ، فَقُلْتُ لَهَا: تَكَلَّمِيْ، لِمَنْ أَنْتَ؟ قَالَتْ لِلْمَقْتُوْلِ شَهِيْدًا عُثْمَانَ


Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, Waki’ mengajarkan hadis kepada kami, dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Nafi’, dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, Rasulullah saw bersabda, ketika Allah mengisra’kan aku ke langit, aku memasuki langit keempat, punggungku kejatuhan buah apel, lalu ia kuambil dengan tanganku, lalu merekah, dari buah itu keluar bidadari tertawa terbahak-bahak lalu aku tanya ia, “Jawablah, untuk siapakah kamu diciptakan?” bidadari itu berkata; “Untuk yang terbunuh sebagai syahid, yaitu Usman”.

Hadis ini maudlu’, di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Sulaiman bin Hisyam, al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa ia telah memalsukan hadis, dan adz-Dzahabi mendustakannya di dalam Mizan al-I’tidal (3/57). Ibnu Adi berkata, “Dia menyambungkan hadis dan mencurinya”.

Contoh lain, Hadis yang dikeluarkan oleh al-Khilal di dalam Fadla-il Syahr Rajab (no. 2) dari jalan sebagai berikut

عَنْ زِيَادُ بْنُ مَيْمُوْنَ، عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ، لِمَا سُمِّيَ رَجَب؟ لأَنَّهُ بَتَرَجَّبَ فِيْهِ خَيْرٌ كَثِيْرٌ لِشَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

Ziyad bin Maimun, dari Anas bin Malik, ia berkata, Wahai Rasulullah, mengapa dinamakan Rajab? Beliau menjawab, “Karena sebagai penghormatan, pada bulan itu merupakan kebaikan yang banyak untuk bulan Sya’ban dan Ramadhan”

Di dalam hadis ini terdapat rawi yang bernama Ziyad bin Maimun al-Fakihi, ia pendusta dan telah mengakui pemalsuannya terhadap hadis Rasulullah saw

Yazid bin Harun berkata, “Dia pendusta”. Abu Dawud berkata, “Aku men-datanginya, lalu ia berkata, Astaghfirullah, aku telah memalsukan hadis-hadis ini.

Hukum meriwayatkan hadis maudlu’

Meriwayatkan hadis maudlu’ hukumnya haram, kecuali untuk memberi contoh. Kalaupun mengeluarkannya, harus disertai illahnya dan penjelasan tentang kepalsuannya, karena dikhawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak tidak mengetahui kepalsuannya.

Hadis maudlu’ banyak terdapat dalam kitab ar-Raqaiq (kehalusan hati), at-Tarhib wa at-Targhib. Mengamalkan hadis maudlu’ tidak diperbolehkan meskipun sebatas untuk fadha-il al-A’mal. Boleh mengamalkan kandungan hadis maudlu’ apabila bersesuaian dengan salah satu dasar syari’ah. Apabila ada kesesuaian, maka mengamalkannya harus dilandaskan pada dasar syari’ah itu, bukan karena hadis maudlu’. Mengamalkan hadis maudlu’ akan membuka peluang bagi munculnya bid’ah, baik dalam aqidah maupun dalam hukum-hukum fiqh.


2. Hadis Matruk

Definisi

هُوَ الْحَدِيْثُ الَّذِيْ يَكُوْنُ أَحَدُ رُوَاتِهِ مُتَّهِمًا بِالْكَذِبِ

Yaitu hadis yang salah seorang rawinya tertuduh berdusta

Sebagian ahli hadis mempersyaratkan bahwa matannya harus bertentangan dengan dasar-dasar Islam yang telah dikenal. Tetapi pendapat itu bukanlah suatu hal yang lazim, karena andaikata harus demikian maka tidak ada lagi orang yang dijauhi, sehingga hadisnya tetap sahih. Terlebih lagi apabila hadis tersebut diriwa-yatkan secara munfarid (seorang diri) oleh rijal yang muttaham (tertuduh berdusta)” tanpa diikuti dengan adanya tabi’ seorang pun.

Contohnya; Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dun-ya di dalam Qadla’ al-Hawaij (no. 6) dengan jalan melalui;

جُوَيْبِرْ ْبُن سَعِيْدٍ اْلأَزْدِي، عَنِ الضَّحَاكِ، عَنْ ابْنُ عَبَّاسَ عَنِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: عَلَيْكُمْ بِاصْطِنَاءِ الْمِعْرُوْفِ فَإِنَّهُ يَمْنَعُ مَصَارِعَ السَّوْءِ، وَعَلَيْكُمْ بِصَدَقَةٍ السِرِّ فَإِنَّهَا تُطْفِئُ غَضَبَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ

Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy, dari Dhahak, dari Ibnu Abbas dari Nabi sae, beliau bersabda; Hendaklah kalian berbuat ma’ruf, karena ia dapat menolak kematian yang buruk, dan hendaklah kamu bersedekah secara tersembunyi, karena sedekah tersembunyi akan memadamkan murka Allah swt.

Di dalam sanad ini terdapat rawi yang bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdiy. an-Nasa’i Daruquthni, dll. mengatakan bahwa hadisnya ditinggalkan (matruk). Ibnu Ma’in berkata, “Ia tidak ada apa-apanya”, menurut Ibnu Ma’in ungkapan (tidak ada apa-apanya) ini berarti ia tertuduh berdusta.

Catatan;

Sebagian rawi memiliki istilah lain untuk menyebut hadis matruk. Ada di antara mereka yang menyebutnya dengan nama mathruh (terbuang), ada pula yang menyebut wah (lemah) dan lain-lain. Terlepas dari semua itu, hadis dengan kualitas rawi seperti ini kedudukannya berada di bawah hadis dla’if yang kedha’ifan ringan. Tertapi hadis ini masih lebih tinggi derajatnya daripada hadis maudlu’. Allahu A’lam.

Pembahasan Tentang al-Jahalah

Adanya rawi yang tidak dikenal (jahalah) merupakan salah satu sebab ditolak-nya suatu riwayat. Jahalah terbagi menjadi dua bagian;

1. Jahalah ‘Ain, yaitu sebutan khusus terhadap orang yang tidak ada riwayat hadis darinya selain hanya satu riwayat saja, dan tak seorang pun di antara ahli hadis yang mengemukakan jarh dan ta'd’ilnya

Di antara orang yang masuk kategori jahalah ‘ain adalah; Hafsh bin Hasyim bin Utbah. Rawi yang meriwayatkan hadis darinya hanyalah Abdullah bin Luhai’ah, dan tak seorangpun menyebutkan jarh wa ta’dilnya. Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata di dalam Tahdzib at-Tahdzib (2/362), “Dia tidak disebutkan di dalam kitab-kitab tarikh (rawi) apapun juga, dan juga tidak ditemukan penjelasan bahwa Ibnu Utbah memiliki anak yang bernama Hafsh.

2. Jahalah Hal, yaitu jahalah yang dialamatkan kepada orang yang hadis darinya diriwayatkan oleh lebih dari seorang, tetapi ahli hadis tidak mengemukakan jarh wa ta’dilnya.

Di antara orang yang disebut-sebut termasuk ke dalam golongan jahalah macam ini adalah Yazid bin Madzkur. Diriwayatkan darinya oleh Wahb bin Uqbah, Muslim bin Yazid -anaknya- tetapi pendapat yang mu’tabar tidak dianggap siqah

Bolehkah berhujjah dengan hadis Majhul?

Mayoritas ulama’ melarang berhujah dengan hadis Majhul, baik majhul hal ataupun majhul ‘ain. Hanya saja ada sebagian ulama’ yang membedakan antara keduanya, dan berpendapat bahwa majhul hal itu lebih ringan daripada majhul ain. hadis yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul hal apabila diikuti oleh riwayat yang setingkat, atau lebih kuat, maka hadis akan meningkat derajatnya menjadi hasan, karena berkumpulnya dua jalan atau lebih. Adapun hadis majhul ‘ain, maka mutaba’ah (adanya penguat) tidak berguna sama sekali, karena kelemahannya termasuk ke dalam kategori berat.

Contoh Majhul ‘Ain, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1492),

حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيْدٍ ثَنَا بْنُ لُهَيْعَةَ عَنْ حَفْصِ بْنِ هَاشِمٍ بْنِ عُتْبَةٍ بْنِ أَبِيْ وَقَّاصٍ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدٍ عَنْ أَبِيْهِ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَعَا فَرَفَعَ يَدَيْهِ مَسَحَ وَجْهَهُ بِيَدَيْهِ

Qutaibah bin Sa’id menceritakan kepada kami, Ibnu Luhai’ah menceritakan kepada kami, dari Hafsh bin Hasyim bin Utbah bin Abu Waqqash, dari Saib bin Yazid, dari ayahnya, Yazid bin Sa’id al-Kindi ra. Bahwa Nabi saw apabila berdo’a beliau mengangkat kedua tangannya lalu menwajahnya dengan kedua tangannya.

Hafsh bin Hasyim termasuk majhul ‘ain, sebagaimana telah dijelaskan di muka.

Contoh hadis Majhul hal; Hadis yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi di dalam as-Sunan al-Kubra, (8/232) dengan jalan dari

شَرِيْكٍ عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ الْوَلِيْدِ عَنْ بَعْضِ قَوْمِهِ أَنَّ عَلِيًّا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ رَجَمَ لُوْطِيًّا

Syarik dari al-Qasim bin al-Walid, dari Yazid -Arah bin Madzkur, bahwasan-nya Ali merajam orang homoseksual

Yazid bin Madzkur majhul hal, sebagaimana telah disebutkan di muka.


3. Hadis Mubham

Definisi

الْمُبْهَمُ مَنْ لَمْ يُسَمِّ فِي السَّنَدِ مِنَ الرُّوَاةِ

Yang dinamakan Mubham adalah; Rawi yang tidak disebutkan namanya di dalam sanad.

Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud di dalam as-Sunan (3790) dengan jalan

عَنِ الْحَجَّاجِ بْنِ فُرَافِصَةَ عَنْ رَجُلٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَاهُ جَمِيعًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ غِرٌّ كَرِيمٌ وَالْفَاجِرُ خِبٌّ لَئِيمٌ


dari al-Hujjaj bin Farafshah, dari seseorang, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Mu’min itu sopan lagi mulia, dan pendosa penipu lagi keji

Rawi di dalam sanad yang dinisbatkan kepada negerinya, pekerjaan, atau penyakit, juga termasuk mubham.

Contoh; hadis yang dikeluarkan oleh Abu Dawud (1299) dengan jalan dari

مَحَمَّدُ بْنُ مُهَاجِرٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ رُوَيْمٍ حَدَّثَنٍي اْلأَنْصَارِي أَنَّ رّسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِجَعْفَر ... فَذَكَرَ حَدِيْثَ صَلاَةِ التَّسْبِيْحِ

Muhammad bin Muhajir, dari Urwah bin Ruwaim, ia berkata; al-Anshari berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda kepada Ja’far … beliau menyebutkan hadis tentang shalat tasbih.

Hukum Hadis Mubham

Hadis Mubham hukumnya sama dengan hadis Majhul ‘ain, karena periwayatnya tidak dikenal, pribadinya dan keadaannya sehingga hadisnya tidak dapat diterima dan digunakan sebagai argumen, kecuali dapat diketahui siapa orang yang dimubhamkan itu. Apabila ia telah diketahui, maka dapat dinilai hadisnya sesuai dengan kaidah-kaidah penilaian hadis. Tetapi apabila yang dimubhamkan itu sahabat, maka tidak berpengaruh apa-apa karena semua shahabat itu adil.

Mubham matan.

Kadang-kadang mubham terdapat di dalam matan, hal ini tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena penyebutan rawi secara mubham tidak terdapat pada sanad.

Contohnya, hadis yang dikeluarkan oleh Muslim (2/603) dengan jalur sanad dari Jabir;

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتِ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata: Aku menghadiri salat Id bersama Rasulullah saw, beliau memulai salat sebelum khutbah, tanpa adzan dan iqamah, kemudian berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk taqwa kepada Allah, dan mendorongan untuk taat kepada Allah, mengajarkan kepada manusia dan mengingatkan mereka, kemudian berlalu sehingga datang seorang perempuan, maka beliau mengajar mereka dan mengingatkan mereka seraya bersabda; Bersedekahlah karena kebanyakan di antara kalian akan menjadi kayu bakar api neraka, lalu berdirilah salah seorang perempuan, yang merupakan pilihan para wanita, yang kedua pipinya berwarna merah kehitam-hitaman, lalu ia bertanya, “Mengapa demikian, Ya Rasulullah?” Rasulullah saw menjawab, “Engkau banyak mengeluh dan ingkar kepada kepada suamimu. Jabir berkata; Lalu mereka menyedekahkan sebagian perhiasan mereka yang berupa cincin dan anting mereka dengan memasukkannya ke dalam kain Bilal

Disembunyikannya nama wanita yang bertanya kepada Rasulullah saw tidak mempengaruhi kesahihan hadis, karena orang tersebut tidak terletak pada sanad.

Pembahasan Tentang Bid’ah

Bid’ah sebagaimana telah saya sebutkan pada sebab-sebab dlaif karena cacat pada keadilan rawi. Tetapi apakah hadis dari orang yang melakukan bid’ah tertolak secara mutlak ataukah ia bisa diterima dengan syarat-syarat tertentu?

Hal ini secara terperinci akan dibahas pada bagian kedua dari buku ini, yaitu dalam Jarh wa Tadil untuk pemula





Tidak ada komentar