Post Terbaru

Asbabul Wurud (Thaharah) : Sumur Budha'ah dan Hadits Tentangnya


Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dari Ibnu 'Abbas, dia berkata: "Rasulullah saw [4] bersabda:

الْمَاءُ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ

‘Air tidak ternajisi oleh sesuatu.'

Sababul Wurud Hadits Ke-3:

Dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i-lafazh adalah miliknya- dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata: "Kami melintasi Rasulullah saw dan beliau sedang berwudhu dari Sumur Budha'ah. (Maka aku berkata): Apakah engkau berwudhu (darinya) sementara ia (di sana dibuangi hal-hal yang tidak baik) [5] dari bangkai.'" Lalu beliau bersabda: '(Air) tidak ternajisi oleh sesuatu.'

Tahqiq Ke-3

Hadits Ke-3:

Dikeluarkan oleh Ahmad (1/235,308);Ibnu Khuzaimah (1/60);Ibnu Hibban (2/389), al-Ihsan dalam Taqrib Ibnu Hibban, yang meru-pakan bagian dari hadits Abu Dawud, kitab ath-Thaharah, bab: Ma Yunajjisu min al-Ma' (Hal-hal yang Najis dari Air, (1/15)), dari jalan Ibnu 'Umar;Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam bukunya (1/143), dengan maknanya;Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra dari hadits Abu Sa'id al-Khudri.

Qullah: adalah tempat air. Karena ia dapat di jinjing dengan tangan atau dapat dibawa, sebagaimana firman Allah Ta'ala: "Hatta idza aqallat sahaban tsiqalan (Hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung...)" (QS. Al-A'raf [7]: 57), dan nama ini dipakai untuk tempat air yang besar atau kecil. Sedangkan maksudnya di sini adalah, dua qullah dari tempat air Hajar, yang keduanya seukuran lima qirbah, yang setiap qirbah adalah seratus liter ukuran Irak. Maka dua qullah sama dengan lima ratus liter ukuran Irak. Al-Mughni li lbni al-Qudamah fi al-Fiqh (1/23), cet. Maktabah al-Jumhuriyah. Lihat pula al-Fa'iq fi Gharib al-Hadits (3/234).

Penjelasan: Sababul Wurud Hadits Ke-3:

Hadits tersebut dikeluarkan oleh:

An-Nasa'i dalam kitab al-Miyah, bab: Dzikru Bi'ri Budha'ah (Mengenai Sumur Budha'ah, (1/142));Dan dikeluarkan oleh Ahmad (3/15, 31) darinya dengan lafazh yang berbeda-beda;Dikeluarkan oleh an-Nasai dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra (1/4), dengan lafazh yang berbeda;Telah dikeluarkan pula oleh Abu Dawud dalam kitab ath-Thaharah, bab: Ma Ja'a fi Bi'ri Budha'ah (Tentang Sumur Budha'ah, (1/16));Dan Ahmad (1/235) dengan lafazh miliknya dari Ibnu 'Abbas, dan an-Nasa’i (1/141), dari hadits Abu Sa'id. Yang semuanya dengan sebab kedua: bahwa salah seorang perempuan dari isteri-isteri Nabi saw mandi dari junub, kemudian Nabi saw berwudhu sisanya, maka hal tersebut dikatakan kepada beliau, dan beliau pun berkata: "Sesungguhnya air tidak ternajisi oleh sesuatu." Sementara Ahmad telah menyebutkan dengan jelas nama isteri yang mulia dalam (6/330), dari hadits Ibnu Abbas dari Maimunah isteri Nabi saw dia mengatakan: "Aku selesai mandi dari junub," al-hadits.

Abu Dawud mengatakan: "Aku mendengar Qutaibah bin Sa'id berkata: Aku telah bertanya kepada penjaga Sumur Budha'ah mengenai kedalamannya, dia berkata: 'Air di dalamnya paling banyak sampai ke bagian bawah perut.' Aku berkata: Apabila berkurang/surut?' Dia berkata: 'Di bawah aurat.' Abu Dawud juga berkata: "Aku telah mengukur Sumur Budha'ah dengan selendangku yang aku ulurkan di atasnya, kemudian aku membentangkannya, ternyata lebarnya adalah enam hasta." Oleh sebab itulah pemilik al-Mughni mengatakan: "Apabila seorang yang junub atau seseorang yang berhadats menyelam ke dalam air yang kurang dari dua qullah dengan niat bersuci dari hadats, maka air tersebut menjadi air musta'mal (yang sudah dipakai untuk bersuci), dan hadatsnya belum hilang darinya." Sementara asy-Syafi'i berpendapat: "Air menjadi musta'mal dan hadats telah hilang darinya." Dia -yaitu Ibnu Qudamah- menyatakan dan kami mempunyai sabda Rasulullah saw: "Janganlah seseorang dari kalian mandi dalam air yang tergenang sementara dia dalam keadaan junub." Larangan meniscayakan rusaknya sesuatu yang dilarang, dan karena berpisahnya air pertama dari badannya, maka ia menjadi musta'mal. Sehingga hadats pada keseluruhan tubuhnya belum hilang. Sebagaimana jika yang mandi di dalamnya adalah orang lain. Namun apabila air dua qullah atau lebih, maka dapat menghilangkan hadats, dan airnya pun tidak terpengaruh karenanya. Karena ia tidak mengandung kotoran. Lihat al-Mughni li Ibnu al-Qudamah (1/22). Hadits yang dipakai sebagai dalil oleh Abu Dawud (1/78) dari hadits Abu Hurairah. Dia ditanya oleh Ibnu Abu as-Sa'ib: "Bagaimana beliau berbuat, wahai Abu Hurairah?" Dia berkata- "Beliau mengambilnya perlahan-lahan."

Almarhum Ahmad Syakir telah menyebutkan perkataan yang bagus yang telah dia nukil dari al-Khithabi dari Ma'alim as-Sunan, yang baik kiranya apabila kita menukilnya. Dia mengatakan: "Banyak orang yang bingung apabila mendengar hadits ini bahwa hal tersebut adalah merupakan adat dari mereka, dan bahwa mereka melakukan perbuatan ini dengan niat dan kesengajaan, sesungguhnya ini tidak boleh disangkakan pada seorang kafir dzimmi bahkan seorang penyembah berhala sekalipun, apalagi seorang muslim. Masih menjadi adat orang-orang, baik dahulu hingga sekarang, yang muslim dari mereka atau yang kafir, yaitu menjaga kebersihan air dan menghindarkannya dari najis-najis. Lalu bagaimana mungkin hal ini disangkakan pada mereka (para shahabat) pada saat itu? Padahal mereka adalah tingkatan tertinggi dari ahli agama dan jamaah muslimin yang paling utama, dan air di negeri mereka lebih segar dan keperluan mereka terhadap air adalah lebih banyak -mungkinkah ini adalah yang mereka lakukan terhadap air-? Sementara Rasulullah saw, telah melaknat orang-orang yang buang hajat di sumber-sumber air dan alirannya. Lalu bagaimana mereka menjadikan mata-mata air dan sumbernya menjadi tempat pembuangan najis-najis dan pembuangan kotoran-kotoran? Ini adalah hal yang tidak pantas dengan keadaan mereka. Akan tetapi hal ini karena sumur ini berada di tanah yang landai. Sementara aliran airnya menyapu kotoran-kotoran ini dari jalanan dan parit-parit sehingga ia membawanya serta dan melemparkannya ke dalam sumur tersebut. Karena banyaknya air maka ia tidak terpengaruh dengan adanya barang-barang ini di dalamnya dan tidak pula merubahnya. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah saw, tentangnya untuk mengetahui hukumnya apakah ia suci ataukah najis. Maka jawaban Rasulullah saw ketika itu adalah: "Sesungguhnya air tidak ternajisi oleh sesuatu." Beliau bermaksud pada semua air yang mempunyai sifat yang sama sengan air sumur ini, dari segi airnya yang penuh dan banyak. Karena pertanyaan ini adalah tentang sumur itu secara spesifik, maka jawabannya pun untuk itu pula. Dan hal ini tidak bertentangan dengan hadits mengenai dua qullah, karena sudah diketahui bahwa air di Sumur Budha'ah mencapai dua qullah, jadi salah satu dari hadits tersebut sesuai dengan yang lain dan tidak bertentangan dengannya, dimana hal khusus mengharuskan adanya umum lalu menerangkannya, dan tidak menghapusnya. Al-Jami' ash-Shahih.

Sunan at-Tirmidzi dengan keterangan dan komentar dari Ahmad Syakir (1/96), cet. Mushthafa al-Halabi. Budha'ah: dikatakan bahwa ia merupakan nama dari pemilik sumur tersebut, dan dikatakan pula bahwa ia adalah nama tempat itu. Zahru ar-Rubi 'Ala al-Mujataba, karya as-Suyuthi (1/142). Cet. Mushthafa al-Halabi.

______________

Dalam naskah lain setelahnya ditambahkan: "Mandilah kalian darinya dan berwudhu-!ah. Karena sesungguhnya ia suci airnya dan halal bangkainya." Dan ini salah dari segi tidak adanya sanad.Sumur yang di sana dibuangi darah haidh, bangkai, dan daging-daging anjing.

1 komentar:

  1. Saya sedang mencari cari referensi dan belajar seputar sumur dan jenis air untuk usaha Berkah Kuras Toren Solo. Terimakasih, sangat bermanfaat sekali tulisannya.

    BalasHapus