Post Terbaru

Kisah Islamnya Sang Anak Adopsi



UJE KAWE - “Tidaklah setiap anak yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanya lah yang akan menjadikannya sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi,” sabda Rasul riwayat Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim.

Hadist tersebut seakan mewakili apa yang terjadi dalam kehidupan Linda. Jikalau tak diadopsi keluarga Muslim, bisa jadi Linda kini bukanlah seorang yang kaffah dalam berislam, bukanlah seorang yang berkenan menghabiskan waktunya untuk memperdayakan saudara-saudaranya sesama mualaf.

Menyedihkan, itulah yang dirasakan Linda saat menghadapi realitas sebagai anak adopsi. Namun saat itu pula, ia merasa bersyukur karena dari keluarga yang mengadopsinya, ia mengenal agama Islam.

“Di satu sisi, menyadari kalau anak adopsi, merasa tidak tinggal dengan keluarga kandung, tentu sedih, merasa tersisih. Mengapa orang tua kandung gak menyayangi. Tapi di sisi lain, bersyukur. Dengan jalan ini saya menjadi Muslim,” ujarnya.

Linda lahir dari keluarga Tionghoa beragama Konghuchu. Namun kelahirannya dianggap pembawa sial keluarga. Pasalnya, saat ibunda mengandung Linda, usaha keluarga tiba-tiba bangkrut. Linda pun diyakini akan membawa dampak negatif bagi keluarga jika tidak diadopsi.

“Bapak ibu saya Tiongkok, saya diadopsi keluarga Melayu. Alasannya mungkin faktor ekonomi, kemudian faktor adat. Kalau ibu hamil mengalami kondisi tertentu atau kejadian tertentu, maka harus diadopsi. Kalau saya, waktu ibu hamil, usaha bangkrut. Jadi dari segi ekonomi tertekan karena bangkrut ditambah menurut kepercayaan itu harus diasuh orang lain,”
kisah Linda.

Secara adat, di kota tempat kelahiran Linda, Bagansiapiapi Riau, adopsi anak dari etnis Cina merupakan hal lumrah yang banyak terjadi. Keluarga Melayu-lah yang banyak menjadi rekan “transaksi” adopsi tersebut.

“Kebetulan di tempat saya, dan tentu juga takdir, banyak keluarga Melayu yang gak punya anak. Kebiasaan di tempat saya, mereka adopsi dari keluarga Tionghoa,”
ujar Linda.

Sejak diadopsi oleh keluarga Melayu itulah, Linda dididik dan dibesarkan dengan agama Islam. Ia mendapat pendidikan agama yang memadai, hingga mengenyam bangku kuliah.

Saat ini Linda bahkan menjadi guru Bahasa Arab di sebuah sekolah dasar Islam terpadu (SDIT) di Yogyakarta. Kefaqihan Linda dalam beragama patut diacungi jempol.

Namun untuk sampai pada keimanan yang kuat hingga kini, Linda tak lepas dari berbagai ujian dan cobaan. Saat menginjak usia dewasa dulu, Linda menyadari bahwa menjadi kewajiban baginya untuk menemukan orang tua kandung. Namun di kota tempat Linda lahir dan dibesarkan, hal tabu bagi anak adopsi untuk mencari orang tua kandung.

“Kalau sudah diadopsi Melayu, dianggap anak sendiri. Hubungan dengan keluarga kandung benar-benar putus. Kalau ada upaya menghubungkan kembali dengan keluaga kandung maka dianggap pamali,”
ujarnya.

Ketika Linda duduk dibangku SMA, seorang guru agama mengingatkannya untuk berbakti pada orang tua. Meski telah diadopsi, Linda seharusnya tak melupakan orang tua kandungnya. Namun saat itu Linda tak berani mencari kedua orang tua kandungnya, mengingat hal tersebut dianggap sebagai pamali di daerahnya. Hingga kemudian sang ibu Melayu meninggal dunia. Linda pun baru memiliki keberanian, meski sedikit, untuk mencari orang tua kandungnya.

“Rasa takut ada, takut karena sebetulnya dianggap tabu anak adopsi mencari orang tua kandung, dianggap tidak balas budi, tidak berbakti, seperti melupakan jasa orang tua yang menggadopsi. Diberi tahu guru agama di SMA, bahwa sebagai anak, bagaimanapun juga saya harus mengenal orang tua kandung apapun agama mereka. Kemudian dibantu pak guru, bu guru, saya mencari jejak orang tua,”
kenang Linda yang kini telah berumah tangga dan memiliki dua orang putra.

Dibantu para guru, Linda pun mencari alamat sang orang tua kandung. Namun rupanya hal tersebut bukanlah hal mudah. Linda mendapat cibiran dari banyak orang atas usahanya tersebut. “Banyak yang mencibir, beratnya disitu, tanggapan keluarga. Karena itu dianggap tabu, aib, pamali,” kata Linda mengenang.

Dengan usaha sungguh-sungguh, tekad Linda akhirnya tercapai, ia bertemu keluarga kandungnya. Kebahagiaan tentu menyelimuti hati Linda, begitu pula sang ibu kandung. Linda pun mendapati bahwa ia memiliki dua kakak laki-laki kandung, sedang dia merupakan anak bungsu di keluarga kandung. Adapun di keluarga Melayu, Linda merupakan anak tunggal. Linda pun kemudian menjaga hubungan baik dengan kedua keluarga, baik keluarga kandung maupun keluarga yang mengadopsinya.

Meski telah bergabung dengan keluarga asli, bukan berarti agama Linda goyah. Ia justru berkeinginan mengenalkan Islam pada keluarga kandungnya. Namun sang bapak kandung lebih dahulu meninggal. Adapun sang ibu kandung masih sangat kolot dan sulit berkomunikasi. Pasalnya, ibu kandung Linda hanya mampu berbahasa hokkian, sehingga menyulitkan Linda berkomunikasi dengannya. Kedua kakaknya lah yang seringkali menjalin komunikasi dengan Linda, hingga kini.

Aktif dalam organisasi mualaf

Meski hidayah Islam diperoleh Linda melalui orang tua asuhnya, namun ia memeluk Islam dengan hati yang lapang dan suka cita. Ia sangat bersyukur dan berterima kasih pada mereka, terutama karena hidayah Islam yang diperoleh melalui perantara mereka.

Selain mengajar di SDIT Salsabila, Linda pun kemudian menghabiskan waktunya untuk membagi kepeduian pada sesama muallaf. Ia aktif dalam Yayasan Ukhuwah Mualaf (Yaumu) dan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI).

Dengan bergabung dalam dua organisasi muallaf tersebut, Linda bermaksud menyiarkan agama Islam. Ia berkeinginan indahnya Islam dapat dirasakan para “pendatang” baru agama. “Untuk syiar Islam, dakwah Islam. Yang jelas, pembinaan keislaman. Baik di Yaumu maupun di PITI, ikut membina muallaf,” tutur Linda ikhlas.

Di tengah keluarga kandung, Linda pun tak lupa untuk selalu berdakwah. Kakak keduanya memeluk agama Islam. Namun menurut Linda, pernikahan kakaknya hanya berdasarkan atas pernikahannya dengan seorang wanita dari kauman.

Meski demikian, hal tersebut menjadi modal bagi Linda untuk menanamkan Islam sebenarnya ke dalam hati sang kakak. “Kakak kedua menikah dengan perempuan Kauman, jadi muslim. Walaupun muslim dengan pernikahan, tapi harapan saya dia tetap dapat hidayah,”kata Linda penuh harap.

Saat ini Linda hidup bahagia dengan suami dan kedua anaknya. Pendidikan Islam menaungi rumah tangganya. Sang suami pun tak pernah mempermasalahkan latar belakangnya. Linda amat bersyukur atas apa yang ia dapatka, dan selalu ingin berbagi dengan saudaranya sesama muslim, lebih khusus sesama muallaf.

“Suami saya senang dengan keragaman multi, saya disadarkan pada identitas asli saya. Akhirnya saya bergabung dengan komunitas tionghoa muslim disamping Yaumu,” pungkasnya.

[kisahmuallaf.com]

Tidak ada komentar