Sejarah Kitab al-Barzanji
UJE KAWE - Kitab al-Barzanji merupakan salah satu kitab maulid karya dari Syaikh Ja’far bin Husein bin Abd al-Karīm bin Muhammad al-Barzanji al-Kurdi yang lahir di Madinah pada tahun 1126 H (1690 M) dan wafat pada tahun 1177 H (1766 M) di Kota Madinah.23 Beliau merupakan seorang sufi yang mengarang kitab al-Barzanji yang terkenal dengan nama Maulid al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd al-Jawāhir. Nama al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmūd al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.
Pada abad ke-19 dan ke-20, keluarga al-Barzanji merupakan salah satu dari keluarga yang sangat terkemuka di Kurdistan bagian selatan, sebuah keluarga ulama dan syaikh tarekat Qadiriyah yang mempunyai pengaruh politik yang sangat besar. Pada tahun 1920-an, Syekh Mahmūd al-Barzanji memberontak terhadap Inggris dan menyatakan dirinya sebagai raja Kurdistan. Pada tahun berikut-berikutnya, keluarga tersebut juga menjalankan peranan penting dalam kehidupan politik Irak, seperti Syekh Muhammad Najib Barzanji yang memimpin kelompok gerilya kecil ciptaan Iran melawan pemerintah Irak. Anggota keluarga lainnya, Ja’far Abdul Karīm al-Barzanji, di lain pihak, mencapai posisi yang tinggi dalam pemerintahan Irak, pada tahun 1990, dia adalah presiden dari dewan eksekutif wilayah Kurdi yang otonom. Fakta- fakta ini membenarkan persepsi baik pemerintah Irak maupun Iran bahwa mereka memerlukan kharisma keluarga 23 H.A. Hafizh Dasuki, M.A. dkk., op. cit., hlm. 199. 25 tersebut jika mereka ingin menanamkan pengaruh di kalangan orang-orang Kurdistan.24
Sebenarnya model pembacaan maulid yang menggunakan teks puitis pertama kali dilakukan oleh penyair istana Turki Utsmani, yakni Sulaiman Chelebi (w. 825-1421). Ia dikenal sebagai kiai istana pada dinasti Bayazid, yang ditangkap oleh Taimur Lank. Adapun pelantunan puisi tersebut dalam majlismajlis sufi dan perayaan-perayaan resmi pada tanggal 12 Rabiul Awal, tampaknya baru dimulai pada tahun 996 H/1588 M. Oleh Murād III, seorang sultan Turki Utsmani yang dikenal sebagai sufi. Kemudian model tersebut banyak ditemui dalam perayaan-perayaan resmi yang diselenggarakan kesultanan Turki dan masyarakatnya, yang dilakukan dengan penuh kesalehan, kesederhanaan, dan menghibur. Selain di Turki Utsmani, pelantunan maulid pun dilakukan di kesultanan Mamlūk, Mesir (dimulai pada zaman al-Suyūthi [1445-1503]).25
Ada dua kondisi sosial politik mendasar yang melatarbelakangi penulisan munculnya kitab-kitab maulid pada abad ke-15. Pertama, bahwa pada abad-abad ke 14 hingga ke 16 M, di berbagai belahan dunia Islam sedang marak dan berada pada puncak penyebaran tradisi maulid, yang perintisannya sejak awal abad ke 12. Kegiatan maulid mencapai puncak popularitasnya di kalangan masyarakat, sehingga penguasa-penguasa pun kemudian mengakomodasinya sebagai kegiatan resmi negara, yang salah satu motifnya adalah kepentingan politik. Penelitian Nico Kaptein (1994) mengenai maulid di Maghrib dan Spanyol menunjukkan bahwa budaya maulid telah menyebar ke hampir seluruh dunia muslim, baik sebagai bentuk budaya baru yang diilhami kaum sufi, maupun sebagai pelarian kekecewaan politik, akibat invasi dunia barat modern ke berbagai belahan dunia Islam. Sehingga umat Islam memerlukan api pemantik, berupa dimunculkannya semangat kecintaan kepada Rasulullah, guna memompa semangat perjuangan umat islam.26
Diceritakan bahwa, Syekh Idris membuat kitab maulidnya, tidak lain karena mengikuti perlombaan (sayembara) penulisan riwayat Nabi beserta puji- 24 Martin Van Bruinessen, Kitab kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 95-96. 25 Maulid berbahasa Arab pertama adalah Maulid Syaraf al-Anam oleh Abdurrahman ibn al-Diba’ azZabidi (1461-1537). 26 Ahmad Anas, op. cit., hlm. 88. 26 pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin, yang dilaksanakan oleh Sultan Utsmani (ada yang menyebutkan Sultan Salahuddin al-Ayyūbi, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah pada tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyūb. Dari perlombaan karya sastra tersebut, Syekh Idris sebagai pemenangnya melalui kitab maulid al-Barzanji, dan kemudian memperoleh hadiah 5000 dinar dari sang Sultan. Sejak itulah karya alBarzanji menjadi bacaan populer di kalangan umat Islam sunni.27
Perlombaan tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk membangkitkan semangat perjuangan umat islam, setelah kecintaannya pada Rasulullah dibangkitkan. Selain itu guna mengingat kembali perjuangan Rasulullah yang selalu mencapai hasil gemilang.
Kondisi kedua adalah kemunduran dunia Islam, serta kekalahannya di medan perjuangan jihad dengan kaum salib (dunia barat), yang juga mengakibatkan kekalahan sosial kultural, semenjak jatuhnya Granada (Spanyol) dari pangkuan Islam pada tahun 1492 M. Akibatnya, pada kurun waktu tersebut, di mana juga merupakan tahun-tahun kehidupan al-Diba’i, dunia Islam dilanda kemunduran yang sangat drastis, serta kelemahan mentalitas perjuangan, akibat kekalahan bertubi-tubi perjuangan Islam, yang diakhiri dengan hancurnya pusat Islam di Eropa (Spanyol) Granada oleh kaum kristen pada tahun 1492 M, yang menandakan berakhirnya kejayaan imperium Islam. Tidak berapa lama kemudian, hampir seluruh dunia Islam mengalami kolonialisasi oleh kaum Kristen-Eropa, yang ditandai dengan pelayaran Vasco da Gama pada tahun 1498 sampai ke India.
Dalam kondisi seperti ini, maka umat islam menyelenggarakan peringatan maulid Nabi dengan cara menyanyikan syair-syair (puji-pujian) dan shalawat terhadap Nabi Muhammad yang bertujuan untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal umat Nasrani (dalam menyanyikan pujian-pujian terhadap yesus) pada waktu itu. Umat islam memerlukan semangat kejuangan tinggi yang bersumber pada ghirah jihad Rasulullah. Untuk membangkitkan kembali semangat dan ruh jihad pada kaum muslimin, maka muncullah karya-karya sastra mengenai pribadi Rasulullah yang diharapkan mampu menimbulkan kecintaan 27 K.H. Muhammad Sholikhin, Ritual dan Tradisi Islam Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 458. 27 pada Rasulullah dan meneruskan perjuangannya, termasuk karya dari Syaikh Ja’far al-Barzanji.
Sebenarnya perayaan maulid Nabi untuk pertama kali dalam sejarah Islam baru diselenggarakan oleh penguasa Dinasti Fathīmiyyah di Mesir, yaitu al-Mu’iz li-Dīnillāh (341-365 H/953-975 M). Menurut al-Sandūbi, sejarawan dan pengarang buku Tarīkh al-Ikhtilāf bi al-Maulid al-Nabiy min ‘asr al-Islām ila ‘asr al-Farūq al-Awwal (sebuah buku yang berisi sejarah kelahiran Nabi sejak masa pra Islam sampai masa pemerintahan Umar bin Khaththāb), pelaksanaan maulid Nabi yang dilaksanakan oleh Mu’iz Lidīnillāh di atas didorong oleh keinginannya menjadi seorang penguasa populer terutama di kalangan Syi’ah. Ia memperkenalkan beberapa perayaan, salah satu diantaranya ialah perayaan maulid Nabi.28
Dalam merayakan maulid Nabi, mereka memberikan hadiah kepada orangorang tertentu, seperti penjaga masjid, perawat makam Ahlul bait, dan para pejabat. Setelah Dinasti Fatimi hancur, peringatan maulid Nabi itu terus dilaksanakan.
Di kalangan Sunni (Ahlussunnah wal jama’ah), perayaan maulid Nabi pertama kali diselenggarakan oleh Sultan Atabeg Nūruddīn (511-569 H/1118-1174 M), penguasa Suriah. Maulid Nabi dirayakan di malam hari, para tamu diundang dan diberi hadiah. Selama perayaan berlangsung dilakukan deklamasi syair-syair yang memuji raja.29
Di Mosul, hidup seorang saleh bernama Umar al-Malla, ulama ahli alQur’an dan Ḥadis. Setiap tahun, ia mengundang ulama, fuqaha’, para pangeran, dan penguasa, ke kediamannya untuk merayakan hari kelahiran Nabi. Perayaan tersebut diisi dengan pembacaan syair pujian mengenai Nabi. Nūruddīn adalah salah seorang yang sering mendapat undangan tersebut, sehingga syaikh tadi memintanya membangun sebuah masjid yang digunakan untuk tempat beribadah dan pertemuan, termasuk untuk perayaan maulid Nabi. 28 Ahmad Muthohar, Maulid Nabi: Menggapai Keteladanan Rasulullah SAW, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), hlm. 28. 29 Ensiklopedi Hukum Islam, op. cit., hlm. 1158. 28
Di Irbil, 80 kilometer dari timur-tenggara Mosul, pada masa pemerintahan Muzhaffar Abu Sa’īd al-Kokburi bin Zainuddīn Ali bin Baktakin, yang menjabat sebagai Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara pada tahun (549-630 H/1154-1232 M),30 perayaan maulid Nabi mulai dilaksanakan secara besarbesaran. Perayaan itu sangat mashur sampai ke berbagai daerah, sehingga setiap tahun berhasil menarik sejumlah besar orang dari berbagai daerah, seperti Mosul dan Baghdad.31
(http://eprints.walisongo.ac.id)
Tidak ada komentar