Batasan Aurat Laki-laki Dalam Islam
Batasan aurat laki-laki berbeda dengan batasan aurat yang ditetapkan islam terhadap wanita. Para ulama rahimahumullah telah sepakat bahwa qubul dan dubur beserta bagian yang ada di sekitar keduanya adalah aurat bagi laki-laki. Mereka lalu berbeda pendapat tentang keauratan paha laki-laki dalam dua pendapat:
1-Pendapat jumhur ulama sekaligus pendapat populer imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ahmad) bahwa paha merupakan aurat, dan bahwasanya aurat laki-laki adalah dari daerah pusar hingga lututnya. Lalu mereka sendiri berbeda pada keauratan pusar dan lutut dalam dua pendapat sebagaimana akan dijelaskan.
2-Salah satu pendapat Imam Ahmad beserta sebagian ahli fikih di berbagai mazhab bahwa paha bukanlah aurat bagi laki-laki dengan berlandaskan beberapa dalil, di antaranya:
-Hadis Anas radhiyallahu’anhu yang panjang tentang kisah perang Tabuk, di antara redaksinya:
حسر صلى الله عليه وسلم الإزار عن فخذه حتى إني أنظر إلى بياض فخذ نبي الله صلى الله عليه وسلم،
Artinya: “Nabi shallallahu’alaihi wasallam menyingkapkan sarung dari pahanya sehingga saya melihat putihnya pahanya.” (HR Bukhari: 371)
-Hadis Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu:
«أن النبي صلى الله عليه وسلم كان قاعدا في مكان فيه ماء، قد انكشف عن ركبتيه أو ركبته، فلما دخل عثمان غطاها»
Artinya: “Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam awalnya duduk di suatu tempat yang terdapat air, dan kedua lututnya atau lututnya dalam kondisi tersingkap. Ketika Utsman radhiyallahu’anhu masuk pada beliau, beliau lalu menutup lututnya.” (HR Bukhari: 3695)
Meskipun dua hadis ini shahih, tapi tidak mesti menunjukkan secara pasti bahwa paha bukanlah aurat, akan tetapi hanya menunjukkan bahwa aurat laki-laki memiliki dua jenis:
Pertama: ‘Aurah Mugalladzhah atau aurat yang berat. Yaitu, qubul dan dubur beserta bagian di sekitar keduanya. Aurat ini tidak boleh ditampakkan kecuali kepada istri atau hamba sahaya. Ia tidak boleh disingkap di depan orang lain kecuali bila dalam kondisi darurat. Adapun kalau hanya dalam kondisi yang diperlukan seperti mengangkat pakaian agar tidak terkena tanah becek, atau ketika mandi di kolam, atau keperluan/hajat lainnya maka tetap tidak boleh, karena kalau hanya sekedar hajat maka sama sekali tidak membolehkan pelaksanaan amalan haram, tetapi yang bisa membolehkan pelaksanaannya adalah bila dalam kondisi darurat seperti pada kondisi pengobatan atau operasi atau perkara darurat lainnya.
Kedua: ‘Aurah Mukhaffafah atau aurat yang ringan. Yaitu bagian paha hingga ke atasnya. Aurat jenis ini boleh diperlihatkan bila diperlukan, namun biasanya keperluan/hajat ini kondisinya hanya sekali-sekali dan bukan menjadi kebiasaan. Artinya, kalau ada yang keluar dengan memakai pakaian pendek yang memperlihatkan pahanya, maka ini tidak boleh karena ia merupakan pakaian yang menjadi kebiasaannya. Dalil utama yang menunjukkan bahwa paha adalah aurat yang ringan adalah:
-Bahwa Nabi shallallahu’alaihi wasallam menampakkannya pada orang lain dalam kondisi membutuhkan penyingkapannya, sebagaimana dalam hadis Anas di atas ketika beliau melewati atau melompati benteng Khaibar.
-Juga Nabi shallallahu’alaihi wasallam menyingkapnya sebentar dan bukan terus menerus menyingkapnya seperti ketika hanya duduk sebentar sebagaimana dalam hadis Abu Musa di atas. Dalam hadis ini beliau menyingkapnya dalam kondisi duduk, dan bukan berdiri atau berjalan. Sebab itu, ketika beliau melihat Abu Bakr radhiyallahu’anhu yang menyingkap pahanya dalam keadaan berdiri tanpa hajat tertentu seperti melompati pagar atau tempat tinggi, beliau lantas bersabda:
أما صاحبكم فقد غامر
Artinya: “Teman kalian ini telah menjerumuskan dirinya dalam perkara yang berbahaya.” (HR Bukhari: 3661).
Juga dalam hadis Anas dan Abu Musa di atas, mereka berdua menyebutkan penyingkapan paha Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dengan menyebutkan faktornya. Hal ini mengisyaratkan bahwa keauratan paha itu ringan, hanya boleh ditampakkan kalau ada hajat atau faktor tertentu, dan tidak boleh ditampakkan secara terus menerus.
Kesimpulannya, pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat merupakan pendapat yang benar dan penuh kehati-hatian. Adapun orang-orang yang menganggapnya bukan aurat maka akan kesulitan menentukan batasan aurat pada paha, sebab paha merupakan satu anggota badan yang panjang dan bersambung, sehingga bila menganggap bahwa bagian paha bawah bukan aurat maka serta merta akan menganggap bahwa pangkal paha yang dekat selangkangan juga bukanlah aurat . Tentunya ini merupakan pendapat yang tidak benar.
Pendapat yang menyatakan bahwa paha adalah aurat ringan merupakan pendapat Imam Malik, Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu riwayat darinya, dengan berdalil hadis populer:
الفخذ عورة
Artinya: “Paha itu aurat.” (HR Ahmad: 1/275 dan Tirmidzi: 2796 dari hadis Ibnu Abbas, dan HR Ahmad: 3/478, Abu Daud: 4014, dan Tirmidzi: 2795 dari hadis Jarhad)
Adapun lutut dan pusar, maka para ulama berbeda dalam dua pendapat; apakah keduanya merupakan aurat atau bukan? Imam Malik, Syafii dan Ahmad berpandangan bahwa keduanya bukanlah aurat, sedangkan Abu Hanifah memandang keduanya sebagai aurat. Wallaahu a’lam. (Diringkas dari At-Tafsir wa Al-Bayan: 3/1293-1296)
Sumber: Wahdah Islamiyah
Post Comment
Tidak ada komentar