Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits di dalam tradisi Ulama Hadits (arabnya : ‘Ulum al-Hadits). Dari segi bahasa ilmu hadist terdiri dari dua kata yakni ilmu dan hadist, secara sederhana ilmu artinya pengetahuan, knowledgr, dan science,[1] sedangkan hadist secara etimologis, hadist memiliki makna jadid, qorib, dan khabar.[2] Adapun pengertiannya sebagai berikut:
a. Jadid, lawan qadim: yang baru (jamaknya hidast, hudatsa, dan huduts);
b. Qorib: yang dekat, yang bekum lama terjadi;
c. Khabar: warta, yakni: sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang yang lain (Hasbi Asshiddiqy, 1980 : 20)
Adapun pengertian hadist secara terminologis menurut Ahli Hadist:
اَقْوَالُهُ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَفَعَاله وَأَحْوَالُهُ
“Segala ucapan, segala perbuatan dan segala keadaan atau perilaku Nabi SAW” (Mahmud Thahan, 1978 : 155)
Dengan demikian Ulumul Hadits adalah ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan hadits Nabi SAW. Para ulama ahli hadist banyak yang memberikan definisi ilmu hadist, di antaranya Ibnu Hajar Al-Asqalani:
الْقَوَاعِد المُعَرِفَةُ بِحَالِ الرَّاوِي وَالْمَرْوِيٌ
“Kaidah-kaidah yang mengetahui keadaan perawi dan yang diriwayatkan”[3]
Dari definisi di atas dapat dijelaskan bahwa ilmu hadist adalah ilmu yang membicarakan tentang keadaan atau sifat para perawi dan yang diriwayatkan.
Ilmu hadits yakni ilmu yang berpautan dengan hadits. Apabila dilihat kepada garis besarnya, Ilmu Hadits terbagi menjadi dua macam. Pertama, Ilmu Hadits Riwayat (riwayah). Kedua, Ilmu Hadits Dirayat (dirayah).
a. Ilmu Hadist Riwayah
Menurut bahasa riwayah dari akar rawa, yarwi, riwayatan yang berarti an-naql = memindahkan dan penukilan, adz-dzikr = penyebutan, dan al-fath = pemintalan. Seolah-olah dapat dikatakan periwayatan adalah memindahkan berita atau menyebutkan berita dari orang-orang tertentu kepada orang lain dengan dipertimbangkan/dipintal kebenarannya.[4]
Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah Hadis Nabi saw dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal tersebut mencakup:
a. Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan demikian juga dari cara penyampaiannya dari seorang perawi ke perawi lain;
b. Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penghafalan, penulisan, dan pembukuannya.
b. Ilmu Hadist Dirayah
Ilmu Hadist Dirayah, dari segi bahasa kata berasal dari kata dara, yadri, daryan, dirayatan/dirayah =pengetahuan, jadi yang dibahas nanti dari segi pengetahuannya yakni pengetahuan tentang hadist atau pengantar ilmu hadist.[5]
Ibn al-Akfani memberikan Ilmu Hadis Dirayah sebagai berikut: dan Ilmu Hadis yang khusus tentang Dirayah adalah ilmu yang bertujuan untuk mengetahui hakikat riwayat, syarat-syarat, macam-macam, dan hukum-hukumnya, keadaan para perawi, syarat-syarat mereka, jenis yang diriwayatkan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya.
a) Syarat-syarat riwayat, yaitu penerimaan para perawi terhadap apa yang diriwayatkannya dengan menggunakan cara-cara tertentu dalam penerimaan riwayat (cara-cara tahammul al-Hadits), seperti:
· Sama’ (perawi mendengarkan langsung bacaan Hadis dari seorang guru),
· Qira’ah (murid membacakan catatan Hadis dari gurunya di hadapan guru tersebut),
· Ijazah (memberi izin kepada seseorang untuk meriwayatkan suatu Hadis dari seorang ulama tanpa dibacakan sebelumnya kepada seorang untuk diriwayatkan),
· Kitabah (menuliskan Hadis untuk seseorang),
· Munawalah, (menyerahkan suatu hadis yang tertulis kepada seseorang untuk diriwayatkan),
· I’lam (memberitahu seseorang bahwa Hadis-Hadis tertentu adalah koleksinya),
· Washiyyat (mewasiatkan kepada seseorang koleksi hadis yang dikoleksinya), dan
· Wajadah (mendapatkan koleksi tertentu tentang Hadis dari seorang guru).
b) Objek kajian atau pokok bahasan Ilmu Hadis Dirayah ini, berdasarkan definisi di atas, adalah sanad dan matan Hadis.
Pembahasan tentang sanad meliputi:
a. Segi persambungan sanad (ittishal al-sanad), yaitu bahwa suatu rangkaian sanad Hadis haruslah bersambung mulai dari Sahabat sampai pada Periwayat terakhir yang menuliskan atau membukukan Hadis tersebut; oleh karenanya, tidak dibenarkan suatu rangkaian sanad tersebut yang terputus, tersembunyi, tidak diketahui identitasnya atau tersamar:
b. Segi kepercayaan sanad (tsiqat al-sanad), yatu setiap perawi yang terdapat di dalam sanad suatu Hadis harus memiliki sifat adil dan dhabith (kuat dan cermat hafalan atau dokumentasi Hadisnya );
c. Segi keselamatan dan kejanggalan (syadz);
d. Keselamatan dan cacat (‘illat); dan
e. Tinggi dan rendahnya martabat suatu sanad.
Pembahasan mengenai matan adalah meliputi segi ke-shahih-an atau ke dhaifan-nya. Hal tersebut dapat dilihat dari kesejalananya dengan makna dan tujuan yang terkandung di dalam al-quran, atau selamatnya:
a. Dari kejanggalan redaksi (rakakat al-faz);
b. Dari cacat atau kejanggalan dari maknanya (fasad al- ma’na), karena bertentangan dengan akal dan panca indera, atau dengan kandungan dan makna al-qur’an, atau dengan fakta sejarah; dan
c. Dari kata-kata asing (gharib), yaitu kata-kata yang tidak bisa dipahami berdasarkan maknanya yang umum dikenal.
________________________
[1] Ibid. hal. 68
[2] Asep Herdi. Ilmu Hadist, (Bandung: Insan Mandiri, 2010), hal. 2
[3] Abdul Majid Khon. Loc.Cit.
[4] Ibid. hal. 69
[5] Ibid. hal. 71
Tidak ada komentar